Klarifikasi Ketua BEM UNM Tentang Tuduhan Diktator dan Mundurnya Pengurus BEM

Ketua BEM UNM, Syamry, saat melakukan orasi. (Foto: Ist)
Ketua BEM UNM, Syamry, saat melakukan orasi. (Foto: Ist)

Makassar - Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Negeri Makassar (BEM UNM), Syamry, menghubungi tim Advokashit Mekdiunm untuk menyampaikan klarifikasi menyeluruh terkait dinamika yang terjadi di internal lembaga. Langkah ini diambil sebagai respons atas berbagai tudingan, termasuk label diktator dan polemik pengunduran diri massal sepuluh pengurus BEM UNM.

Persoalan ini mencuat ke publik setelah adanya narasi ketidakpuasan terhadap kepemimpinan Syamry yang dianggap sepihak dalam menentukan struktur kabinet, khususnya pada posisi Menteri Sosial dan Politik (Mensospol). Dinamika ini semakin memanas karena terjadi di tengah momentum pengawalan kasus dugaan pelecehan seksual di lingkungan universitas yang sedang ditangani oleh pihak kepolisian.

Berikut adalah klarifikasi lengkap dari Syamry: Menjawab Tuduhan dan masih dengan #LKUNMDalamBahaya :

1. Kritikan

Saya menganggap narasi yang beredar sampai hari ini jauh dari fakta yang ada, ungkapan yang menganggap saya sebagai “diktator” jelas tidak berdasar dengan realitas dan konteks apapun. Sebab segala hal yang menyangkut kepengurusan BEM UNM termasuk rencana strategis selalu dibahas dalam Rapat Kabinet dengan menjunjung tinggi demokratisasi, transparansi, inklusif dan berkeadilan.

2. Latar Belakang

Pada tanggal 13 Juni 2025 terlaksana pertemuan dan konsolidasi sembilan fakultas se-UNM untuk merampungkan dan memfinalisasi struktural kepengurusan BEM UNM Periode 2025-2026. Dalam pertemuan tersebut disepakati untuk posisi Menteri Sosial dan Politik akan diberikan kepada Fakultas Keolaragaan dan Kesehatan termasuk memberikan mandat kepada H (inisial) untuk mengkonsolidasikan ke internal FIKK keputusan tersebut. Sebelum pertemuan berakhir saya sempat menyampaikan ketika sampai hari sebelum pelantikan LK UNM dilaksanakan tidak ada nama yang diberikan dari FIKK melalui H berarti posisi Mensospol akan dikembalikan ke FIP. Namun, sampai waktu yang ditentukan tidak ada nama untuk posisi tersebut, akhirnya untuk menjalankan periodisasi yang terhambat dalam pelantikan posisi Mensospol diberikan kepada FIP. Akhirnya konsensus yang terbangun patah dengan sendirinya.

Periodisasi kemudian berjalan, hingga sebelum Pleno LK UNM dilaksanakan figur dari FIKK diinformasikan akan masuk dalam kabinet. Muncul AF sebagai figur yang didorong. Disinilah dinamika itu lahir, AF ingin masuk sebagai Mensospol dalam kabinet tanpa legitimasi yang sah melalui lembaga kemahasiswaan FIKK UNM. Sebagai Pimpinan BEM UNM kami bukan tidak ingin menerima AF tetapi sedari awal prinsip yang kita pakai adalah representatif yang sah secara legitimasi bahwa semua fungsionaris BEM UNM harus melalui rekomendasi dari lembaga kemahasiswaan tingkat fakultas untuk mengisi posisi strategis. Hal itu dilakukan sebab mempertimbangkan bahwa setiap figur yang mengisi posisi sentral di kabinet merupakan orang yang terterima di fakultasnya dan melalui mekanisme yang sah secara kelembagaan tanpa terkecuali fakultas yang tidak memiliki lembaga kemahasiswaan ditingkat fakultas.

3. Mengenai Dinamika Internal BEM UNM

Setiap fungsionaris lembaga kemahsiswaan UNM tentu mencita-citakan penyatuan gerakan sebagai senjata paling ampuh dalam mengawal problematika kampus dan lebih jauh, problematika kenegaraan. Namun, tanpa legitimasi yang sah, menyatukan sembilan mata orange merupakan kontradiksi berpikir dan kesia-siaan adalah konsekuensi logisnya. Bahwa BEM UNM merupakan lembaga kemahsiswaan UNM yang memotori gerakan mahasiswa dalam skala universitas tentu dengan warnanya sendiri, kehadiran BEM UNM dalam setiap isu internal termasuk kasus pelecehan seksual Rektor UNM jelas menjadi ancaman serius bagi kelompoknya (baca : pro rektor), dititik inilah kelompok elit (baca : senior) dan kelompok pro rektor itu mamainkan perannya. Mencoba untuk melemahkan gerakan dan memecah belah posisi keberpihakan mahasiswa hingga akhirnya isu yang sedang terkawal teralihkan.

Mundurnya 10 orang pengurus terjadi tepat sehari setelah pengawalan isu kasus pelecehan seksual rektor UNM di Polda Sulsel adalah tanda bahwa kepentingan kelompok elit dan kelompok pro rektor memiliki kesamaan. Tanpa pernah ada masalah, tanpa pernah ada konflik internal, 10 pengurus dipaksa mengundurkan diri tanpa alasan yang jelas dengan alasan konstalasi politik lembaga kemahasiswaan UNM. Perlu ditegaskan konstalasi politik lembaga kemahasiswaan UNM marupakan suara dan partisipasi mahasiswa secara keseluruhan secara kelembagaan yang sah bukan melalui politik kotor memaksakan diri masuk ke kabinet dalam keadaan yang tidak normal apalagi dengan posisi sentral. Ketika kondisi tersebut terjadi tentu dengan sendirinya akan menjadi polemik tersendiri bagi fakultas yang mereka wakili.

4. Menyoal #LKUNMDalamBahaya

Dinamika tersebut menjadi satu pelajaran penting bagi setiap fungsionaris bahwa setiap pemimpin lembaga kemahasiswaan perlu memiliki prinsip dalam bergerak, independensi dalam bersikap menentukan posisi kelembagaan dan keberpihakan, serta integritas sebagai pondasi setiap dinamika kelembagaan. Kehadiran “kelompok elit” dalam proses kelembagaan tentu menjadi pisau bermata dua, akan menjadi baik ketika yang terjadi adalah jalur koordinasi (kritik oto kritik) dan menjadi buruk ketika menjadi posisi sub-ordinasi, ada yang lebih tinggi dan yang lain lebih rendah. Sayangnya pola subordinasi inilah yang menjangkit beberapa fungsionaris hingga akhirnya mereka menjadi korban dari “kelompok elit” yang bermain, memecah belah, bahkan melemahkan gerakan.

#LKUNMDalamBahaya merupakan kritik bagi setiap fungsionaris lembaga kemahasiswaan yang setiap harinya selalu mendiskusikan hal ideal tetapi mati akal dan integritasnya dimakan “kelompok elit” dalam menentukan sikap secara berdikari. Setiap LK UNM perlu mereformasi diri dan cara berpikirnya menjadi lebih objektif dan progresif, ketika setiap sikap masih terus diinterupsi, ketika setiap gerakan masih terus didikte maka yang lahir adalah mereproduksi kembali bentuk-bentuk kolonial dalam setiap pola interaksi para fungsionaris lembaga kemahsiswaan.

Kita akan selalu berbicara kolaborasi gerakan tetapi disisi yang lain tanpa sadar meminggirkan bentuk paling kecil dari gerakan, yakni integritas. Pada akhirnya BEM UNM bukan soal seberapa banyak fungsionaris yang memilih keluar barisan tetapi melihat seberapa kuuat daya tahan ketabahan mempertahankan prinsip, sikap dan rasa hormatnya, tanpa didikte, tanpa termakan interupsi dan tanpa kontaminasi kekuasaan.

Sebab dalam kondisi seperti inilah pihak yang merasa terancam kembali diuntungkan dengan konflik yang terjadi pada lembaga kemahasiswaan, mereka merasa aman, merasa tenang. Padahal sedari awal, tidak boleh ada ruang aman bagi pelaku kekerasan seksual termasuk parasit-parasitnya.